Riedo Andy K.

Tari Gandrung. Apa sih Tari Gandrung itu? Bagaimana sih sejarah Tari
Gandrung? Dan lain sebagainya lagi tentang Tari Gandrung.
Gambar para penari Tari Gandrung
Oke teman-teman, pertama kami akan menjelaskan apa itu Tari Gandrung? Nah Tari Gandrung
merupakan salah satu jenis tarian tradisional yang berasal dari Banyuwangi. Kata “gandrung”
diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai
Dewi Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Tari Gandrung biasanya digelar oleh
masyarakat sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang didapat. Penari
Gandrung (wanita) menari bersama atau berpasangan dengan Pemaju yakni para tamu lakilaki. Pemaju dikenal juga sebagai Paju. Selain itu, Tari Gandrung saat ini juga sering
dipentaskan di berbagai acara, seperti acara pernikahan, khitanan dan juga pada acara hari
peringatan kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya kami akan menjelaskan bagaimana sejarah atau asal-usul dari Tari Gandrung?
Kesenian tari ini diperkirakan sudah ada sejak pembangunan ibukota Blambangan sebagai
pengganti Pangpang (Ulu Pangpang). Tari Gandrung pertama kali lahir pada saat pembukaan
Hutan Tirtagondo( Tirtaarum) yang diprakarsai oleh bupati Ulu Pangpang saat itu. Joh Schole
pernah menulis dalam makalahnya mengenai asal Tari Gandrung, ia menyatakan bahwa asal Tari
Gandrung mulanya para lelaki jejaka keliling ke desa-desa bersama
pemain kendang dan terbang. Sebagai penghargaan, mereka diberi imbalan beras yang mereka
bawa dalam sebuah kantong. Imbalan yang didapat tersebut kemudian disumbangkan pada
mereka yang keadaannya memprihatinkan. Sejalan dengan apa yang ditulis Joh Scholte di dalam
makalah tersebut, alur cerita turun termurun yang ada di masyarakat Blambangan juga
menyatakan hal yang sama. Dinyatakan bahwa Tari Gandrung mulanya dilakukan oleh para
lelaki. Mereka membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana. Para
lelaki tersebut berkeliling setiap hari mempertunjukkan tarian Gandrung pada sisa-sisa rakyat
Blambangan di sebelah timur. Dikabarkan bahwa saat itu rakyat di Blambangan hanya tersisa
sekitar lima ribu jiwa. Hal ini diakibatkan oleh penyerbuan komperni pada tahun 1767.
Kemunculan tari ini dulunya juga dimanfaatkan sebagai ajakan kepada rakyat yang tercerai berai
agar mereka mau pulang ke kampung halamannya untuk membentuk kehidupan yang baru,
hingga selesai dibabadnya Hutan Tirtaarum.
Gambar penari Tari Gandrung wanita menari dengan penari pria yang di sebut paju
Gambar baju yang dipakai oleh para penari Tari Gandrung
Seiring dengan perkembangan, saat ini penari gandrung beralih menjadi penari perempuan.
Dalam pertunjukannya, Tari Gandrung terbagi menjadi tiga babak. Pertama dibukan
dengan Jejer, yaitu bagian dimana penari menyanyikan lagu dan menari sendiri. Kemudian
dilanjutkan dengan Paju atau disebut Ngibing di daerah lain, yaitu penari memberikan
selendangnya kepada tamu yang datang untuk kemudian diajak menari. Babak terakhir
adalah Seblang Subuh, yaitu penutup, dimana penari menari dengan penuh penghayatan dengan
menggunakan kipas yang dikibaskan sesuai irama sambil bernyanyi. Untuk busana yang
digunakan oleh penari Tari Gandrung sendiri sangat kental akan perpaduan gaya Jawa dan Bali.
Pada bagian atas, penari menggunakan baju yang berbentuk seperti kemben berwarna hitam. Lalu
pada bagian bawah penari menggunakan kain batik khas Banyuwangi panjang sampai bagian
atas mata kaki. Di bagian kepala, penari menggunakan mahkota dengan berbagai ornamen
berwarna merah dan emas yang disebut omprok. Selain itu, aksesoris lain yang digunakan
seperti kelat pada tangan, selendang yang dikenakan di bahu dan pada bagian pinggang diberi
ikat pinggang dan sembong juga dihiasi warna emas.

Gandrung ditetapkan sebagai Maskot Pariwisata Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 31 Desember 2000 sesuai SK Bupati Banyuwangi nomor : 173 tahun 2002. Tari Jejer Gandrung ditetapkan Sebagai Tari Selamat Datang Di Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 31 Desember 2003 sesuaiSK Bupati Banyuwangi nomor : 147 tahun 2003.

Maestro Gandrung Banyuwangi ( Temu Misti )

Temu Mesti lahir pada tanggal 20 April 1953 di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi yang berjarak sekitar + 15 menit dari pusat kota Banyuwangi. Desa yang menjadi tempat tinggalnya merupakan sebuah desa yang kental dengan nuansa dan tradisi masyarakat suku Osing.

Masa kecil Misti dihabiskan bersama Atidjah dan Buang (pamannya/suami Atidjah) yang dianggap sebagai ayah dan ibu kandungnya sendiri. Ketika berada di bawah asuhan mereka, Misti sering sakit-sakitan.

Tatkala sakit dan tidak kunjung sembuh itulah Misti dibawa oleh Atidjah dan Buang ke dukun yang sering disebut dengan panggilan Mbah Kar. Di tempat itulah dia dipijat dan disuruh untuk meminum air putih yang telah dijampi oleh Mbah Kar. Setelah dari rumah Mbah Kar, Misti dibawa ke rumah juragan gandrung bernama Mbah Ti’ah yang berada di daerah Pancoran. Di situlah Misti makan dengan sangat lahap dan mendapatkan kesembuhan. Kesembuhan Misti itu menurut istilah dari Mbah Ti’ah adalah nemu nyawa (mendapatkan kehidupan lagi setelah sakit parah). Juragan gandrung itulah yang juga mengusulkan agar Misti kecil menjadi seorang penari gandrung dan namanya juga diubah karena telah sembuh dari sakit. Pergantian nama tersebut merupakan suatu kebiasaan masyarakat desa apabila seorang anak memiliki perilaku aneh atau terkena sakit parah. Dari istilah nemu tersebut, namanya kemudian berubah menjadi “temu”. Hal itulah yang membuat dirinya sampai sekarang dikenal dengan nama Temu, dan karena keahlian Temu dalam seni gandrung dia juga dikenal dengan julukan “Gandrung Temu” (masyarakat suku osing menyebutnya dengan nama Gandrung Temuk atau Mak Muk).

𝙿𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚛𝚐𝚊𝚊𝚗 :

𝚃𝚎𝚕𝚔𝚘𝚖 𝙸𝚗𝚍𝚘𝚗𝚎𝚜𝚒𝚊 𝚖𝚎𝚕𝚊𝚕𝚞𝚒 “𝙸𝚗𝚍𝚒 𝚆𝚘𝚖𝚎𝚗 𝙰𝚠𝚊𝚛𝚍 𝟸0𝟷𝟹”. 𝙼𝚎𝚗𝚝𝚎𝚛𝚒 𝙽𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝙿𝚎𝚖𝚋𝚎𝚛𝚍𝚊𝚢𝚊𝚊𝚗 𝙿𝚎𝚛𝚎𝚖𝚙𝚞𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚗 𝙿𝚎𝚛𝚕𝚒𝚗𝚍𝚞𝚗𝚐𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚊𝚔

𝚃𝚘𝚔𝚘𝚑 𝙸𝚗𝚜𝚙𝚒𝚛𝚊𝚝𝚒𝚏 𝙹𝚊𝚠𝚊 𝚃𝚒𝚖𝚞𝚛 𝚃𝚊𝚑𝚞𝚗 𝟸0𝟷𝟿 𝚍𝚒𝚋𝚒𝚍𝚊𝚗𝚐 𝙱𝚞𝚍𝚊𝚢𝚊

 

 

 

 

Kelompok 14 KKN UNIBA Tahun 2021